Datangnya
bulan suci ramadhan selalu disambut dengan gegap gempita oleh umat
muslim di seluruh dunia. Adalah hal yang wajar mengingat ramadhan
merupakan momen istimewa dalam kehidupan spiritual Islam. Di sisi lain,
gegap gempita menyambut ramadhan selalu disertai dengan kewaspadaan yang
meningkat dari para pemangku kebijakan ekonomi negeri. Setiap bulan
ramadhan sudah hampir bisa dipastikan harga-harga kebutuhan pokok akan
melonjak naik. Fenomena kenaikan harga secara umum (tidak hanya pada
bulan ramadhan) inilah yang kemudian disebut dengan inflasi.
Inflasi
secara umum menjadi semacam ‘momok’ bagi pemerintahan yang berkuasa.
Tidak jarang lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap rezim berkuasa
bermula dari tingginya angka inflasi yang menghimpit kehidupan
masyarakatnya. Hal semacam itu bisa berlaku pula ada Indonesia. Kalau
kita telisik, pemerintahan Soekarno pun tidak lepas dari ‘goyangan’
disebabkan angka inflasi yang mencapai angka fantastis 600%. Oleh sebab
itu memastikan bahwa inflasi rendah dan stabil merupakan agenda wajib
bagi pemerintah. Sebagaimana penjelasan Bank Indonesia dalam website
resminya (di sini), secara ringkas inflasi yang tinggi dan tidak stabil
akan membawa dampak buruk bagi masyarakat antara lain karena ; 1)
Menurunkan pendapatan riil masyarakat sehingga standar hidup pun
mengalami penurunan hasilnya masyarakat miskin akan bertambah miskin, 2)
Menciptakan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi, dan 3) Tingkat inflasi
domestik yang lebih tinggi dari negara lain akan menekan nilai rupiah.
Sehingga kebijakan mengawal inflasi di bulan ramadhan agar tetap stabil
merupakan bagian dari kebijakan stabilisasi inflasi secara keseluruhan.
Jauh
hari sebelum ramadhan tiba, Bank Indonesia bersama kementerian terkait
sudah mulai berkoordinasi untuk memastikan pada bulan ramadhan harga
kebutuhan pokok tetap akan stabil. Bagi masyarakat, ramadhan yang
berlangsung selama sebulan penuh tentu akan sangat tidak menyenangkan
ketika terus dikuntit oleh naiknya harga yang berlangsung pula selama
satu bulan bahkan lebih. Sebagaimana data Bank Indonesia (2014), pola
inflasi umumnya terjadi pada saat bulan puasa (t-1), kemudian berlanjut
pada saat idul fitri (t0), dan baru cenderung mengalami koreksi pada
satu bulan setelah idul fitri. Artinya, masyarakat dihadapkan pada
fenomena kenaikan harga dalam jangka waktu yang lama. Masyarakat yang
terkena dampak inflasi ramadhan ini pun bukan hanya umat muslim sebagai
empunya bulan ramadhan, namun seluruh masyarakat segala lapisan.
Mengurai Inflasi Bulan Ramadhan
Inflasi dan ramadhan seolah menjadi semacam dua sisi mata uang. Selalu berdampingan dan berlekatan. Sehingga tak jarang ada guyonan,
‘tidak ada bulan suci tanpa inflasi’. Kita seringkali merasa janggal,
pemerintah sudah mengatakan pasokan cukup, jalur distribusi aman namun
tetap saja ketika ramadhan tiba kita sudah dihadapkan pada list harga
yang telah berubah dari hari-hari sebelumnya.
Sumber : Badan Pusat Statistik
Melihat
data BPS di atas dapat kita ketahui bahwa dalam empat tahun terakhir
selalu ada tren kenaikan harga di bulan ramadhan. Tahun 2011 ketika
bulan puasa dimulai pada awal agustus angka inflasi bulan agustus
menyentuh 0,93. Tahun 2012, ketika bulan puasa dimulai 20-21 angka
inflasi Juli dan Agustus di kisaran 0,70 dan 0,93. Angka inflasi bulan
Agustus lebih tinggi karena jumlah hari puasa lebih banyak jatuh di
bulan Agustus dibandingkan Juli. Pada tahun 2013 ketika bulan puasa
dimulai pada 9-10 Juli, angka
inflasi Juli dan Agustus mencapai 3,29 dan 1,12, angka inflasi bulan
Juli lebih tinggi karena hari bulan puasa lebih banyak jatuh pada bulan
Juli. Tahun 2014 ini, angka inflasi bulan Juni adalah yang terendah
dalam lima tahun terakhir (termasuk tahun 2010) inflasi bulan Juni,
sedangkan untuk Juli kemungkinan besar angka inflasi akan melonjak
mengingat hari-hari puasa tahun ini lebih banyak jatuh di bulan Juli.
Well, mari kita sedikit uraikan bagaimana inflasi di bulan suci ramadhan ini terjadi, untuk itu kita setidaknya harus melihat dari tiga sisi yang lazim dalam kajian ekonomi dikenal dengan sisi konsumsi, produksi, dan distribusi.
Konsumsi
Harus
kita akui, bahwa selalu ada paradoks konsumsi di bulan ramadhan. Secara
logika, ketika kita mulai berpuasa pukul 04.00 dan berbuka pada pukul
18.00 harusnya kita kehilangan satu waktu makan kita (baca : makan
siang) karena makan pagi sudah diganti dengan makan sahur dan makan
malam sudah diganti dengan makan di kala berbuka puasa. Dengan hitungan
semacam itu, harusnya pola konsumsi agregat menurun. Namun faktanya
tidak demikian.
Di
bulan ramadhan Ibu-ibu di rumah menyiapkan makanan dengan menu yang
lebih istimewa, dengan porsi yang lebih besar, belum lagi tradisi
berbagi makanan kepada orang lain. Pola konsumtif justru terjadi (lagi),
dan ini yang berulang setiap tahun. Kenaikan inflasi ramadhan didorong
oleh kenaikan komponen inflasi volatile foods
(makanan dengan harga yang fluktuatif). Tak ayal jika kemudian
permintaan secara agregat justru meningkat. Selain itu faktor ekspektasi
inflasi (expected inflation)
berperan besar. Ekspektasi inflasi yang meningkat menjelang ramadhan
dan Idul Fitri, meskipun pemerintah mengatakan pasokan aman secara
psikologis pelaku ekonomi akan menyesuaikan diri dengan ekspektasi
inflasi tersebut, dan kemudian inflasi justru benar-benar terjadi.
Produksi
Teori
ekonomi dasar menyatakan bahwa permintaan yang lebih besar dibandingkan
penawaran akan membuat harga barang naik. Untuk menjaga harga barang
agar tetap stabil, sisi produksi harus diperhatikan. Kalau sudah
dipahami bahwa konsumsi di bulan ramadhan meningkat, maka produksi harus
ditingkatkan pula. Pemerintah punya andil dalam menghimbau agar para
produsen bisa meningkatkan produksinya serta mendistribusikannya secara
benar. Produsen yang menginginkan untung pasti berusaha menaikkan
kapasitas produksinya karena mengetahui permintaan akan barang yang
diproduksinya naik, yang jadi masalah ketika produsen menginginkan
untung yang lebih dari untung dengan memanfaatkan celah. Mereka berusaha
menahan terlebih dahulu barang yang diproduksinya sambil menunggu harga
naik, setelah harga naik mereka baru melepas barang yang ditahannya
tersebut. Pengawasan pemerintah diperlukan dalam hal ini.
Distribusi
Sentra
konsumsi bergeser ketika ramadhan tiba, tidak lagi terpusat di
kota-kota besar saja. Hampir merata. Oleh sebab itu pergeseran pola ini
harus diantisipasi dengan sistem distribusi yang baik. Kementerian
Perdagangan harus berkoordinasi dengan kementerian lain misalnya
Kementerian Perhubungan, PU untuk memastikan bahwa jalur distribusi
tidak terganggu.
Pada
akhirnya stabilisasi harga di bulan ramadhan selalu membutuhkan
kerjasama semua pihak, pusat dan daerah. Bank Indonesia bekerjasama
dengan TPI maupun Pokjanas TPID (Pusat) serta TPID (Daerah). Kementerian
terkait seperti Kementerian perdagangan, perhubungan, PU dan lainnya
pun tidak luput dari tugas. Selanjutnya, rakyat hanya bisa berharap
pemerintahnya bisa bekerja dengan baik. Sehingga setiap tiba bulan suci,
kami tidak selalu ‘dipaksa’ untuk mengakrabi inflasi. Semoga.